Sablon atau cetak saring merupakan proses cetak yang menggunakan layar (screen) dengan kerapatan tertentu ada T 54, t 61, t77 hingga T 165 dan umumnya barbahan dasar nylon atau sutra (silk screen).
screen ini kemudian diberi design atau gambar berasal dari negatif design yang diprint sebelumnya di kertas HVS atau kalkir.
Setelah melalui proses afdruk dan disinari, maka harus disiram air agar pola terlihat lalu akan terbentuk bagian-bagian yang bisa dilalui tinta dan tidak.
Proses pengerjaannya adalah dengan menuangkan tinta di atas layar dan kemudian disapu menggunakan palet atau rakel yang terbuat dari karet.
Satu layar digunakan untuk satu warna. Sedangkan untuk membuat beberapa warna dalam satu desain harus menggunakan suatu alat agar presisi.
Sablon biasanya digunakan untuk mencetak gambar di berbagai media (Plastik, kaos, dll).
Sejarah
Teknik sablon pertama kali muncul dalam bentuk yang dikenali di Tiongkok selama era Dinasti Song (960–1279 M).[1][2] Teknik sablon ini kemudian diadaptasi oleh negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, dan selanjutnya berkembang menggunakan metode yang lebih baru.
Pada awal tahun 1910-an, beberapa tukang sablon melakukaneksperimen dengan bahan kimia foto reaktif menggunakan sifat-sifat pengikatan silang yang diaktifkan cahaya atau pengerasan aktinik dari dan bahan kimia dikromat yang dikombinasikan dengan lem dan senyawa gelatin. Roy Beck, Charles Peter dan Edward Owens kemudian mempelajari dan bereksperimen dengan emulsi peka garam asam kromat untuk membuat stensil foto-reaktif. Trio pengembang ini dianggap merevolusi industri sablon komersial dengan memperkenalkan stensil foto-citra ke industri, meskipun penerimaan metode ini akan memakan waktu bertahun-tahun. Sablon komersial sekarang menggunakan sensitizer yang jauh lebih aman dan kurang beracun daripada bikromat. Saat ini, Ada banyak pilihan bahan kimia emulsi peka pra-peka dan “campuran pengguna” untuk membuat stensil foto-reaktif